KITSCH ialah kutub jalan lain seni sejati. Kata ini mulai dipakai oleh orang Jerman pada pertengahan abad ke-19 sebagai lawan dari kata Kunst (seni). menurut berbagai kamus beberapa bahasa asing Kitsch berarti seni selera rendah,
seni murahan, loakan, rongsokan, rombengan, atau seni yang telah kehilangan rasa (apalah artinya garam yang telah kehilangan rasa maka jadilah is seperti pasir di pantai). Dibandingkan dengan logam mulia, Kunst ialah emas tulen; direndam, ditanam, dihempas, digilas, dilebur, dia tetap emas. Sedangkan Kitsch ialah barang imitasi, sedikit saja kena air lunturlah dia, nampak sosok aslinya, entah besi apa yang disepuh sehingga menjadi seperti emas. Cuma seperti.
seni murahan, loakan, rongsokan, rombengan, atau seni yang telah kehilangan rasa (apalah artinya garam yang telah kehilangan rasa maka jadilah is seperti pasir di pantai). Dibandingkan dengan logam mulia, Kunst ialah emas tulen; direndam, ditanam, dihempas, digilas, dilebur, dia tetap emas. Sedangkan Kitsch ialah barang imitasi, sedikit saja kena air lunturlah dia, nampak sosok aslinya, entah besi apa yang disepuh sehingga menjadi seperti emas. Cuma seperti.
Milan Kundera membuat daftar kosakata kreatif baru untuk menjelaskan beberapa segi kemuskilan seni sastra pada bab yang diberinya berjudul "Sixty-trhee Words" dalam bukunya The Art of the Novel (Faber and Faber, London/Boston, 1988). Di antara 63 kata yang dipilihnya terdapat juga Kitsch, yang dijelaskannya antara lain sebagai berikut: Dalam terjemahan bahasa Perancis pada salah satu esai sastrawan Austri Hermann Broch (1886-1951) kata Kitsch diterjemahkan menjadi 'art de pacotille' yaitu seni bermutu rendah. Broch menunjukkan bahwa puncak kesejarahan kata ini berasal dari romantisme sentimental abad ke-19, abad yang lebih romantik dan kurang realistis di Jerman dan Eropa Tengah dibandingkan dengan di tempat lain, sehingga kata Kitsch pun lahir di kawasan itu. Kitsch merupakan musuh besar seni sejati di negeri asal Kundera; tidak demikian halnya di tempatnya menumpang, Perancis, karena di negeri itu musuh sang seni ialah karya hiburan.
Selanjutnya Kundera masih membabit nama Kitsch dalam bab berjudul "Jerussalem Address: The Novel and Europe". Jangan meletakkan prasangka terlalu cepat menuduh ini semua 'kan hanya masalah orang Eropa. Tidak! Ini juga masalah kita. Bagaimanapun besar dan pentingnya differensiasi - seandainya anda menganut paham itu - tetap ada nilai-nilai universal pada hampir semua hal di dunia ini. Pada suatu masa tertentu persamaan yang dianggap penting, pada masa yang lain perbedaan pula yang dipandang lebih utama. Pada kata Kitsch tergambar sikap mereka yang ingin menyenangkan orang banyak dengan cara dan taruhan apapun. "Kitsch ialah terjemahan dari ketololan gagasan-gagasan yang siap-diterima ke bahasa perasaan dan keindahan" (Kitsch is the translation of the stupidity of received ideas into the language of beauty and feeling, kata Milan Kundera dalam terjemahan bahasa Inggris).
Karena itulah siapa yang suka pada Kitsch mungkin juga suka pada Kunst, tapi siapa yang benar-benar menyukai Kunst dengan sepenuh hati tak mungkin suka pada Kitsch dengan sepenuh hati. Pengamal Kitsch barangkali seorang seniman yang tak jadi, seniamn setengah hati, atau orang yang berhasrat mencipta karya seni tapi malangnya ia terlalu tunduk dan takluk pada selera orang banyak, pada tepuk tangan, dan pada serakan uang.
Tepuk tangan dan serakan uang memang selalu merupakan godaan yang tak kepalang tanggung bagi pekerja seni. Dalam kawasan Kitsch, yang menjadi ukuran berhasil tidaknya suatu karya ialah bergemuruh tidaknya tepuk tangan dan tebal tipisnya duit yang ditabur orang buat mengelu-elukan sang tukang. George Bernard Shaw (1856-1950) sastrawan Irlandia peraih Nobel tahun 1925 menunjukkan suatu jalan agar lepas dari kehinaan gapaian tangan si Kitsch: Karena sudah tersohor aku tak memerlukan nama lagi. Untuk mendapatkan uang melalui profesiku, aku bekerja dengan sangat sungguh-sungguh, hanya demi kesusastraan, dan baru sesudah itu berunding secara ketat tentang uang ketika berurusan dengan para penerbit.
Pada abad yang kacau ini orang cenderung lupa bahwa Kitsch dan Kunst merupakan kutub-kutub yang berbeda. Elektron berloncatan dari kutub ke kutub mengingatkan pada sajak Mh. Rustandi Kartakusuma dan kadang-kadang kedua kutub itu menjadi demikian kaburnya. Untunglah terus ada orang yang mengingatkan hal ini kepada dunia sastra. Seperti Kundera.
Sebagaimana halnya dengan kuman tbc, Kitsch senantiasa menggerogoti paru-paru seni sejati. Lain halnya dengan slogan dan propaganda yang mudah sekali ditandai karena wujudnya yang kasar dan gerak gayanya yang kaku, tak agung dan tak pula ramah. Dan ada pula parasit lain selain Kitsch, propaganda dan slogan yang kerjanya terus menerus menghisap darah pohon kesenian: kesusastraan tingkat menengah yang mutunya tak pernah lebih menonjol dari nilai rata-rata, yang tak pernah berambisi naik menjulang di ketinggian. ismail Kadare mengatakan tentang sastra jenis ini: Seteru kesusastraan agung ialah satra tingkat menengah, dan pertempuran di antara mereka cukup gencar (Great literature's true adversary is mediocre literature, and the battle between them is fierce, Newsweek, 20 desember 1993). Di seluruh dunia, satra tingkat menengah yang mutunya sedang-sedang saja itu sangatlah kokoh. Bahaya yang terkandung dalam sastra jenis ini ialah kehadirannya sama sekali tidak merangsang baik tingkat maupun pertumbuhan dan perkembangan karya-karya sastra yang agung. Sifat, kodrat dan fitrah karay-karya seperti itu hanya untuk menghasilkan manusia-manusia yang tidak piawai tapi hanya sekedar terampil saja. Tidak seperti Kitsch, sastra medioker ini memang tergolong dalam karya seni, hanya mutunya tidak tinggi.
Masalah Kitsch, satra medioker, dan lain-lain bukan semata-mata masalah orang Eropa. Karena selera seni rendah yang telah kehilangan rasa, satra di bawah rata-rata, dan semacam itu terdapat di seluruh dunia, di Reykjavik, Irlandia, di Dakar, Senegal, di Kairo, Mesir, di Bombay, India, Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, Aceh, Kendal, Ambon, Maligon, Medan, Padang, Pekanbaru. Ini semua berpuncak ketika orang-orang terdidik tak mau (atau tak mampu) memberikan rangsangan kepada para seniman untuk terus mencapai dan menggapai tingkat yang setinggi mungkin. Dalam bidang sastra mereka mungkin berkata jangan dekati karya-karya garda depan yang menyesatkan dan karya-karya eksperimental yang pelik, jangan baca Iwan Simatupang, jangan baca Budi Darma. Maka para pengarang muda yang baru hendak tumbuh itupun terisolirlah dari arus besar kesusastraan sehingga tetap menajdi orang udik sepanjang masa dalam pergaulan sastra dunia.
Kitsch dan sastra medioker jelas-jelas merupakan benda-benda yang menghalangi perjalanan menuju terciptanya sastra agung. Suatu karya yang benar-benar layak pada masa ini di sini ialah karya yang berani berada di garda depan, yang inovatif, yang terus menggelindingkan eksperimen demi eksperimen, yang berdenyat dan menjalankan denyut urat-urat serebral, yang menjadikan penikmat sadar bahwa hidup ini terus menerus harus kreatif. Diperlengkapi dengan amor fati, cinta sedalam mungkin kepada nasib yang dipilih secara jitu sehingga semangat akan menjulang mengatasi rintangan maka kegiatan berkesenian apapun jenisnya tentu akan berlangsung secara gagah dan menghasilkan karya-karya piawai.
Atau bukan seni semacam itu yang kita mau? Barangkali jenis seni yang di dambakan hanyalah seni yang biasa-biasa saja, yang berukuran rata-rata, tidak inovatif, bukan yang baru dan terus membaru, tidak bermuatan dengan macam-macam, eksperimen, tak pernah berada di garda depan, jenis seni yang sama sekali tak berdenyat menjalankan denyut urat kepala, hanya yang cocok dan sepadan dengan penikmat yang berselera rendah atau sedang-sedang saja, yang hanya layak untuk dijadikan bahan untuk berlagak dan menjual koyok? Pilih yang mana? Terserah.
Orang bebas membuat pilihan. Mau Kitsch atau mau Kunst. Suka hatimulah. Kalau sudah memilih Ana jangan terus menerus mengenangkan Ani, jangan juga mncari-cari apa dan berapa nilai kurang Ana dan nilai lebih Ani. Cuma bagi orang yang suka mengembara di dua dunia, Kunst mau dan Kitsch juga mau, nasibnya seperti diramalkan oleh William Shakespeare: yang satu mati dan yang satu lagi lahir tak berdaya. Baik ditegaskan: si Kunst mati dan si Kitsch lahir tak berdaya. Sekali lagi terserah.
Source: Horison, September 2000
Penulis: Hasan Yunus
No comments:
Post a Comment